![]() |
Mas Mono / Agus Pramono |
Menjadi office boy, tukang gorengan dan sales adalah sederet
pekerjaan masa lalu Agus Pramono yang akrab dipanggil Mas Mono ini.
Bisnis ayam bakar yang dirintisnya di tahun 2001 tak disangka meledak di
pasaran. Kini, setidaknya ia telah memiliki 20 cabang dengan omset
puluhan juta per hari serta melego franchisenya seharga 500 juta rupiah.
Cukup sulit
membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi seorang
milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani hidup
sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata hidupnya
menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks dengan
berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak saya
di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan keras
bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria
kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
Putus kerja tapi hidup
harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai meniti hidup dengan
menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni profesi itu sampai
akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya sewa tuh lahan,
karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann per hari, saya
beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia mulai
berjualan 5 ekor ayam perhari.
![]() |
Mas Mono Di Kaki Lima |
Wangi kepulan asap dari
ayam bakarnya ternyata mampu menyedot pelanggan. Dari hari ke hari,
pelanggannya makin berlimpah. Bahkan, Mas Mono pun akhirnya mampu menghabiskan
80 ekor ayam per hari. “Saya punya tempat mangkal pun itu anugrah terindah.
Saya serasa punya kantor sendiri, tidak harus mengasong lagi. Alhamdulillah
saya dikasih lebih, dari 5 ekor meningkat menjadi 10 ekor, begitu seterusnya
hingga mampu menjual ayam bakar 80 ekor per hari atau sekitar 380 potong. Dengan kondisi tempat masih
di kaki lima itu sebuah pencapaian yang luar biasa!” Ungkapnya.
Bencana
Penggusuran
Naas bagi Mas Mono,
disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana penggusuran pun
melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu saya benar-benar
kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama, bisnis penjualan saya
tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana dengan nasib 6
karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-tanya lokasi ke
setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan menunjukkan
tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang bernama Novieta
ini.
Di Tebet, kebingungan pun
belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru, lokasi yang tidak
strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi bisnisnya.
Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar pelanggan
kembali ramai.
Tak jarang iapun mengajak
bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke lokasi barunya. Hasilnya,
pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya, pelanggan pun terus
berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya bisa menyewa
tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan hingga makan pun
harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang tidak terlalu jauh,”
ujar suami dari Nunung ini.
Rupanya ujian belum
selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari kebangkitan bisnisnya itu,
flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan merajalelanya flu burung,
spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya terus belajar untuk
syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini telah
mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.
20 Cabang,
Ribuan Ekor per Hari
Setelah hampir 10 tahun
berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu cabang yang didirikannya
kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang tersebar dibeberapa wilayah di
Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede, Ciputat, Cileduk, dan daerah
lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa menghabiskan sekitar
150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi tradisional modern.
Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini market leader di dunia
kuliner,” harapnya.
Mengenai omset, jangan
ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup untung hingga 8 jutaan.
Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke bisnis lainnya seperti
bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena saya mengambil
segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa disinggahi siapapun.
Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga cukup murah, hanya 13
ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400 karyawan ini.
![]() |
Menu Ayam Bakar Mas Mono |
Bahkan bisnis ayam bakar
yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise. Dalam waktu singkat,
iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya ke berbagai daerah
bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya fokuskan untuk
menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan lagi ke berbagai
wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual ayam
sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual
franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.
Foto-Foto Ayam Bakar Mas Mono
Post Comment