Cak Eko / Hengky Eko Sriyanto |
Sepuluh kali gagal bisnis, itulah yang dialami
pria yang akrab disapa Cak Eko, pemilik merk Bakso Malang Kota Cak Eko. Hampir
sepuluh tahun ia ‘terlunta-lunta’ dengan 10 kali kegagalan bisnisnya.
Beruntung, ia sosok yang kuat dalam melakoni drama kehidupan. Di tahun ke 11,
ujian pun berlalu, setelah melakoni bisnis bakso. Kini ia telah memiliki 135
cabang dengan omset ratusan juta per hari.
Kuat dan tegar. Ya, kata
itu pantas disandang oleh pria bernama lengkap Henky Eko Sriyantono. Betapa
tidak, ia harus melakoni jatuh bangun berbisnis hingga 10 kali bangkrut dalam
waktu 10 tahun. Namun lelaki kelahiran Surabaya 38 tahun silam ini pantang
menyerah. Tekadnya kuat menaklukkan kegagalan. “Tahun 1997 saya hijrah ke
Jakarta. Dengan modal 800 ribu rupiah, saya mulai menjalankan bisnis HP second.
Di bulan-bulan pertama, untungnya lumayan. Tapi kemudian omsetnya makin
merosot, hanya bertahan satu tahun lalu bangkrut,” ujar Cak Eko.
Gagal di HP, iapun
langsung lari di bisnis lain. Tahun 1998, bisnis MLM tengah gencar. Ia pun
terpikat dan memasukinya, namun ia hanya kuat 6 bulan melakoninya. Setelah itu,
Cak Eko pun mulai merintis bisnis lainnya. “Saya diajak kerja sama sama teman di
sektor agrobisnis. Modalnya cukup besar yaitu sekitar 40 juta rupiah, modal
tersebut saya dapatkan dari patungan teman-teman. Naas, setelah empat bulan
berlalu, saya mengalami gagal panen. Uang tersebut amblas tak sempat
terselamatkan. Bagi saya, itu kegagalan terbesar dalam hidup karena pakai uang
orang lain. Kalau pake uang sendiri mungkin tidak terlalu bermasalah,”
kenangnya penuh sesal.
Hampir saja Cak Eko mau
menyerah, kegagalannya itu memporak-porandakan mimpinya untuk meraih sukses. Ia
pun pulang kampung kembali ke Surabaya.
Kembali Untuk
Menang
Pulang kampung bukan
berarti kalah, tapi kembali untuk menang. Dan itu dilakukan dengan piawai oleh
Cak Eko. “Saya belum kalah, tahun 2000 saya menikah dan kembali ke Jakarta
dengan menggondol sejuta harapan baru. Saya mulai lagi berbisnis, kali ini
jualan jahe. Ternyata, gagal lagi. Tak cukup di situ, saya pun memulainya lagi
dengan berbisnis tas bersama istri. Saya titipkan tas-tas tersebut ke
butik-butik di seluruh Jakarta. Empat bulan berjalan normal, omsetnyapun selalu
naik. Namun di bulan ke enam bencana kembali melanda, bayaran macet dan bisnis
tas juga bangkrut,” bebernya.
Ketangguhan Cak Eko patut
diacungi dua jempol. Gagal di tas, ia kembali bangkit merambah bisnis busana
muslim. “Di bisnis ini saya bisa bertahan 8 bulann karena kemudian penjual
busana muslim pun makin menjamur di berbagai kota. Imbasnya, penjualan busana
muslim yang saya ambil dari pasar Tanah
Abang pun lesu. Saya berhenti, saya capek!” Ucap sarjana teknik sipil ini.
Untuk menghilangkan
stressnya, suatu ketika di tahun 2002, Cak Eko pun pergi jalan-jalan ke
Yogyakarta. Meski tengah berlibur melepas lelah, kejelian untuk mencari peluang
bisnis baru tetap tajam. “Di Yogya, saya melihat kerajinan miniatur sepeda.
Saya tertarik dan membelinya seharga 100 ribu perak. Tapi saya lihat,
pembuatannya masih kasar. Seketika terpikir untuk membuat kerajinan serupa yang
lebih halus. Saya panggil tukang untuk membuat miniatur sepeda dan berhasil
menyajikan yang lebih baik. Saya produksi dan ditawarkan ke hotel bintang lim
adi Jakarta juga ke berbagai store untuk souvenir. Ternyata saya salah
strategi, saya malah mengulangi kegagalan bisnis untuk kesekian kalinya. Usaha
saya pun ambruk dan hanya bertahan satu tahun. Mesin las saya jual untuk bayar gaji
karyawan,” ujarnya.
Cak Eko pun meradang atas
beberapa kegagalannya. Berbagai upaya ia lakukan untuk menjalani hidup, namun
seiring dengan itu hantaman kebangkrutan terus menerjangnya. “Saya banyak
belajar dari kegagalan itu, saya jadi sering baca buku. Saya membaca sebuah
kalimat ‘jika ingin sukses berbisnis mulailah dari hobi’ , wah saya ini hobi
masak, berarti saya harus coba bisnis makanan. Dibukalah bisnis catering
rantangan, kebetulan di sekitar rumah banyak pasangan muda yang bekerja dan tak
sempat masak. Pilihan saya tepat, saya punya 12 langganan setiap harinya. Mimpi
saya makin membesar untuk menekuni bidang ini hingga menjadi catering besar,”
papar Cak Eko.
Sayang tiga bulann
kemudian, pelanggannya malah menciut, hanya tersisa tiga pelanggan saja.
Impiannya pun buyar berbarengan dengan ditutupnya bisnis cateringnya. “Saya ini
sudah menjalankan bisnis sesuai dengan hobi tapi kok malah bangkrut juga,”
ujarnya setengah frustasi.
Bisnis boleh berhenti
tapi hidup harus terus dilanjutkan. Eko pun mulai memutar otak, tak lama
kemudian pilihannya jatuh pada bisnis franchise. “Saya berulang kali bangkrut
mungkin karena sistemnya yang salah. Franchise ini sudah tersistem dengan baik,
mungkin ini jalan saya. Dan saya beli franchise makanan ringan seharga 5 juta
rupiah. Saya jalankan bisnis ini, selama 3 bulan omset terus menanjak. Saya
makin yakin, ini pilihan tepat. Di bulan ke-4 pelan tapi pasti, omsetnya terus
merosot. Karena omsetnya terus turun, saya pindahkan tempatnya ke tempat lain.
Saya pikir mungkin lokasinya kurang strategis. Tapi setelah itu dilakukan tetap
saja omsetnya tak naik. Selama satu tahun, saya pindahin tempat sampai tiga
kali, tapi tak ada perubahan sama sekali. Ya sudahlah saya tutup saja, saya
sudah terlalu lelah,” ujar pria yang menamatkan S2 di UI ini.
Menangkal Malang Dengan Bakso Malang
Tahun 2005 secara tak
sengaja, Cak Eko melihat gerai bakso di bandara. Ia berfikir, bagaimana mungkin
jualan bakso bisa menyewa tempat di bandara,”Iseng-iseng saya tanya ke
pengelolanya, berapa uang sewanya. Katanya 300 juta per tahun. Saya langsung
terpikir, inilah bisnis saya!” katanya semangat. Dari situ, iapun mulai rajin
cari-cari info seputar dunia perbaksoan. Butuh berbulan-bulan ia mempelajari
seputar ‘ilmu bakso’.
Bermodalkan 2,5 juta, Cak
Eko pun mantab untuk membuka bakso Malang. Ternyata, pada bisnis inilah Dewi
Fortuna mulai menyapa. Di hari pertama, ia bisa memperoleh untung hingga 900
ribu rupiah. Dan perlahan, omsetnya terus meningkat hingga mampu membuka 2
cabang lainnya. Ternyata bakso Malng telah menyelamatkan kemalangannya dalam
berbisnis. “Alhamdulillah, inilah jawaban dari Alloh. 3 bulan kemudian, bakso
saya pun mulai dikenal banyak orang. Kini setelah 4 tahun berlalu, saya sudah
bisa mengembangbiakkannya menjadi 135 cabang di seluruh Indonesia,” ucapnya
bangga.
Bukan hanya itu, ditahun
2011 lalu, Cak Eko menargetkan baksonya mencapai manca negara seperti Malaysia
dan Qatar. “Ya saya ingin dunia mengenal bakso,” imbuh pria yang setiap harinya
menangguk untung 15 hingga 120 juta rupiah dari masing-masing cabang ini. Kini
Cak Eko telah mempekerjakann hingga 500 karyawan. Bahkan ia juga mulai merambah
ke bisnis lainnya seperti buah-buahan dan budidaya ikan. Cak Eko juga
memfranchise kan baksonya mulai harga 60 hingga 120 juta rupiah.
“Bisnis itu tak instan,
butuh proses dan perjuangan. Banyak yang gagal dalam berbisnis, karena sesaat
ia mendekati kesuksesan, ia malah berhenti dan menjauh. Dalam berbisnis harus
sabar dan penuh keyakinan, punya mimpi serta pandai melihat peluang. Itulah
kuncinya dan itu pula yang saya jalankan.” Pungkas peraih beragam penghargaan
nasional dan penyabet penghargaan kelas dunia Asia Pasific Entrepreneur Award
2009 ini.
salah satu gerai bakso cak eko |
Wow...Benar-benar
perjuangan yang tak henti-henti. Salut buat Cak Eko. Tak banyak orang yang bisa
se-survive beliau. 10 kali gagal dalam 10 tahun. Banyak orang yang mengubur
mimpinya dalam-dalam untuk memperbaiki taraf hidupnya hanya karena 2 atau 3
kali gagal. Mungkin mereka dan kita semua bisa meneladani mental Cak Eko dalam
menyikapi kegagalan.
Pada dasarnya tak ada
yang namanya gagal, jika kita terus berusaha, belajar dan berdoa. Apapun itu
bidangnya, entah bisnis, entah profesional, entah study. Pokoknya harus terus
berusaha sampai berhasil.
Ok dech, sukses terus Cak
Eko!
Nama Usaha : Bakso Malang Kota Cak Eko