Apa menariknya sebuah handuk dimata kita. Itulah sepenggal pernyataan memulai kisah pengusaha berikut. Bukanlah sekedar handuk biasa. Namanya sering identik sebagai produk impor oleh masyarkat. Faktanya ini bukanlah produk impor justru sukses diekspor ke manca negara. Kisah handuk premium- lembut bernama Terry Palmer.
Produknya sudah biasa berada di hotel- hotel Indonesia. Handuk bernama
kebarat- baratan, yang ternyata sudah ada sejak 1962, diproduksi oleh
perusahaan bernama PT. Indah Jaya. Yang kini dipegang oleh sosok muda
berbakat bernama Wilson Pesik. Merupakan generasi ketiga dari suksesi
perusahaan tersebut. Wilson hanyalah anak muda penuh gairah seperti
halnya kita. Bedanya sejak usia dini sudahlah dibebani tanggung jawab
besar memimpin perusahaan.
"Jauh sebelumnya, ketika masih sekolah saya sudah sering terlibat," jelasnya ke awak media.
Sejak tahun 2007- 2008 dirinya sudah diperkenalkan kepada lingkungan
bisnis. Hingga ketika harus diberi tanggung jawab mengambil tongkat
kepemimpinan; dia sudah merasa di rumah. PT. Indah Jaya kini dipegang
oleh sosok lulusan Marketing dan Entrepreneurship salah satu univesitas
Amerika. Merupakan genarsi ketiga yang mencoba mematahkan kutukan.
Kutukan tersebut adalah kutukan tentang perusahaan keluarga. Dimana
generasi pertama adalah sosok dari fondasi bisnisnya. Kemudian
dilanjutkan oleh generasi kedua yang menyempurnakan suksesnya. Sementara
itu tidak lain sosok generasi ketiga menjadi "penghabisan". Wiliam
sendiri mungkin sadar akan hal tersebut. Ia membuktikan diri bahwa
dirinya layak. Hasilnya adalah cara marketing modern yang tidak biasa.
Tidak biasa dari pendahulunya dalam soal urusan handuk.
Mengendalikan pabrik seluas 40 hektar berkaryawan sekitar 5.000 orang di
Tangerang; tak membuatnya jadi gentar. Pengetahuan selama di Negeri
Paman Sam nampaknya sangat berguna. Ia bahkan membawa gariah baru dalam
marketing dan bisnis Terry Palmer. Sebagai sosok nahkoda, sosoknya masih
unyu- unyu kata anak muda jaman sekarang, namun punya latar belakang
pendidikan luar biasa.
Jikalau dilihat dari wajahnya bukanlah tipikal anak manja. Terlihat dari sorot matanya saja merupakan sosok muda penuh visi.
"Sewaktu saya ditugaskan untuk memimpin perusahaan ini sudah sangat nyaman, dan saya sudah sangat memahami brand ini," jelasnya kepada majalah Marketing (www.marketing.co.id).
Sebelumnya diakuinya perusahaan dijalankan dengan cara tradisional. Hingga ilmunya masuk merubah peta bisnis Terry Palmer dari sekedar handuk. Sekali masuk sudah percaya diri membuat aneka trobosan dalam hal marketing; tanpa keraguan dan trial- error. Langsung tancap gas istilahnya buat mengembangkan brand miliknya.
Terlibat langsung
Jangan salah, Wiliam paham betul soal proses produksi, dan baginya merupakan satu kepastian buat tau apa itu pemilihan bahan baku (raw material) dan barang jadi. Hal- hal mendasar itu sudahlah diajarkan bahkan sejak masih kecil. Dia sudah sering diajak ke eksibisi, pameran Home Textile di Jerman, pameran terbesar yang diselenggarakan di awal tahun. Produk Terry Palmer sudah pasti mengikuti ajang tahunan tersebut. Ia belajar banya disana.
Belajar tentang produk- produk handuk diluar sana. Wiliam bahkan sudah menganggap mereka menjadi satu pesaing. "Saya belajar dari segi desain dan taste," imbuhnya. Dari sang ayah dipelajarinya bagaimana cara agar membedakan handuk berkualitas dan mana jelek. Dia sendiri merasa tidak terbebani. Ketika pulang ke Indonesia dari studi di Amerika sama sekali tidak ada paksaan. Bahkan sang ayah santainya mengirim SMS ketika pesawatnya mendarat.
"Welcome home, mari kita jalani bersama- sama, meraih kesuksesan bersama- sama," kenang Wilson.
Itu hal paling diingatnya ketika kembali ke Indonesia. Ayahnya meyakinkannya bahwa dia percaya. Padahal dia baru saja pulang, belum mengerti, belum punya pengalaman di perusahaan. Tetapi ayahnya memberinya satu kepercayaan besar. Merasa terbebani? Ternyata tidak, karena sejak awal mau berkuliah, dirinya sudah diwanti- wanti akan tanggung jawabnya.
Suatu hari pasti akan memimpin perusahaan selanjutnya. Dari segi mental sudahlah sangat siap bahkan jauh sebelum memilih jurusan kuliah. Soal marketing menurut Wiliam, produk Terry Palmer terlalu bermain safe cuma berkutat di itu- itu saja. Marketinga menurutnya adalah out side the box, dimana menurutnya diluar sana banyak sekali contohnya. Bahkan tidak terpikirkan sebelumnya pernah ada oleh masyarakat awam. Ia menyebut marketing tidak monoton.
"Saya baru tahun ini menjalani krativitas di Terry Palmer, di mana saya bisa melakukan out side the box," ujar Wilson
Melalui event Miss World 2013, nama Terry Palmer mencuat bahkan penulis sempat mengira ini produk apa ya. Penulisa sempat berpikir apakah Terry Palmer adalah produk impor. Melalui acara tersebut perusahaan ditangannya melalukan aneka branding. Tidak sama dengan ketika perusahaan dikontrol 100% oleh ayahnya. Terry Palmer begitu berani melakukan strategi marketing besar- besaran di televisi. "Padahal kami merasa bukan seperti produk elektronik atau makanan," jelasnya.
"Mana ada handuk di dunia yang mau muncul di TVC. Tapi, saya berani mengambil langkah itu," jelasnya penuh kebanggaan.
Bukan cuma mensponsori karena kalau sponsor sudah banyak. Lebih jauh lagi bahkan menjadi bagian dari tiap kegiatannya. Melakukan aktifitas promosi paralel jalannya acara tersebut. Tidak cuma berhenti di acara Miss World. Wilson meyakinkan kita bahwa Terry Palmer merupakan produk bernyali. Mereka sudah siap cara marketing lain di internalnya. Pokoknya akan menjadi surpraise jelasnya kembali. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk brand awareness.
Menarik perhatian masyarakat sekarang tak cuma kelas menengah- atas. Bahkan seluruh Indonesia sudahlah bertanya- tanya apa sih Terry Palmer. Fakta bahwa sosoknya masihlah sangat muda tak diambil pusing. Ia meyakinkan jangan menganggap remeh dirinya. Semuanya berjalan seperti biasanya. Wilson merasa dirinya telah mendapatkan respect dari orang sekitarnya.
Tahun- tahun ini sudah masuk ke pasar Singapura, Malaysia, Australia, bahkan siap masuk pasar China. Jika ibaratnya handuk China masuk Indonesia, kini, giliran Terry Palmer asal Indonesia memasuki pasaran China. Ia terlihat percaya dirinya menjelaskan targetnya. Hasilnya cukup baik memang karena standar produknya itu sudah world class. Meski bicara soal teknik, Wilson meyakinkan kamu, bahwa teknik, mesin, dan bahan baku miliknya sudah terbaik.
Ambil contohnya bahan utamanya menggunakan egyptian cotton atau kapas mesir terbaik. Dari halnya segi teknologi pun sudah bisa bersaing dengan produk dunia. Komposisi lokal- ekspor memang baru mencapai angka 70:30 sebelumnya 50:50. Eith... Jangan salah sangka menurut penjelasannya kenapa buat lokal jadi naik, ternyata ada startegi marketing khusus. Memang buat lokal naik karena memang ini khusus pasaran dari Terry Palmer sendiri.
Untuk pasaran luar negeri sudah ada produknya sendiri bukan Terry Palmer. Wilson meyakinkan kita bahwa nanti akan sampai 80%:20%. Dimana dua puluh persen sisanya akan diperuntukan produk lain. Dimana dari 80% akan dibagi lagi dimana fokusnya ada di IKEA. Ia menyasar 40% pasar lokal IKEA dan 40% nya ada pasar internasional bersama merek Terry Palmer sendiri. Jadilah totalnya ada dua brand dibawanya hingga ke manca negara.
Pasar ekspornya masih difokuskan di pasaran Asia. Berapa banyak perusahaannya menjual makan jawaban darinya 1.000 ton per- bulan. "Kami memproduksi sesuai apa yang kami jual. Produksi kami masih kami maksimalkan hingga 1.300 ton per bulan," terangnya kembali. Tentang inovasi, Wilson masih terus mau untuk mengeksplor, tentu bermodal jiwa mudanya. Menurutnya orang masih menganggap handuk cuma bagian dari kebutuhan sehari- hari.
Belumlah berbicara tentang mode (fashion) atau lifestyle. Nah, inilah tengah dicoba olehnya, bahwa handuk itu juga mempercantik kamar mandi. Jadi bahkan tanpa mengganti warna tembok kamar mandi terlalu sering sudah teratasi. Handuk berwarna akan membuat suasana kamar mandi berasa berbeda. Salah satu inovasi yang tengah dipikirkannya adalah handuk berkristal swarovski. Ini akan membuat handuk jadi berkesan lebih luxury.
"Inovasi penting agar makin sulit ditiru pesaing," jelasnya, dimana Terry Palmer sendiri sudah bisa menguasai 30% pasaran Indonesia. Di Indonesia sendiri masih sedikit pamain diproduksi kain handuk. Cuma 1 sampai 2 perusahaan besar mendominasi dan ini bisa jadi kesempatan bagi kita.
Arti karyawan baginya adalah memberikan kesempatan belajar dan membimbing mereka. Seperti halnya dulu ayahnya yang mensekolahkan dirinya sampai Jerman. Kesempatan itupula lah yang diberikan olehnya kepada karyawannya. Dia menciptakan suasana bersaing tapi menyenangkan. Tidak ada namanya generation gap antara dia dan karyawannya.
"Sebenarnya secara profesional hanya ada mutual respect. Tentu saya juga melihat ada beberapa karyawan yang ketika kakek saya memimpin, mereka sudah bekerja di sini," jelasnya kembali.
Memang ketika Wilson masih kecil sudah dibiasakan, umur 4 tahun, dia sudah diajak berkeliling- keliling ke kantor milik ayahnya. Dia melihat sendiri ada karyawan ayahnya yang masih bertahan. Justru dari merekalah dirinya belajar banyak. Disisi lain, ia mencoba menempatkan dirinya sebagai anak, meyakinkan mereka para karyawan tuanya agar mau mengikuti langkahnya. Dia meyakinkan mereka melalui cara hormat, penuh rasa menolong.
Jikalau dilihat dari wajahnya bukanlah tipikal anak manja. Terlihat dari sorot matanya saja merupakan sosok muda penuh visi.
"Sewaktu saya ditugaskan untuk memimpin perusahaan ini sudah sangat nyaman, dan saya sudah sangat memahami brand ini," jelasnya kepada majalah Marketing (www.marketing.co.id).
Sebelumnya diakuinya perusahaan dijalankan dengan cara tradisional. Hingga ilmunya masuk merubah peta bisnis Terry Palmer dari sekedar handuk. Sekali masuk sudah percaya diri membuat aneka trobosan dalam hal marketing; tanpa keraguan dan trial- error. Langsung tancap gas istilahnya buat mengembangkan brand miliknya.
Terlibat langsung
Jangan salah, Wiliam paham betul soal proses produksi, dan baginya merupakan satu kepastian buat tau apa itu pemilihan bahan baku (raw material) dan barang jadi. Hal- hal mendasar itu sudahlah diajarkan bahkan sejak masih kecil. Dia sudah sering diajak ke eksibisi, pameran Home Textile di Jerman, pameran terbesar yang diselenggarakan di awal tahun. Produk Terry Palmer sudah pasti mengikuti ajang tahunan tersebut. Ia belajar banya disana.
Belajar tentang produk- produk handuk diluar sana. Wiliam bahkan sudah menganggap mereka menjadi satu pesaing. "Saya belajar dari segi desain dan taste," imbuhnya. Dari sang ayah dipelajarinya bagaimana cara agar membedakan handuk berkualitas dan mana jelek. Dia sendiri merasa tidak terbebani. Ketika pulang ke Indonesia dari studi di Amerika sama sekali tidak ada paksaan. Bahkan sang ayah santainya mengirim SMS ketika pesawatnya mendarat.
"Welcome home, mari kita jalani bersama- sama, meraih kesuksesan bersama- sama," kenang Wilson.
Itu hal paling diingatnya ketika kembali ke Indonesia. Ayahnya meyakinkannya bahwa dia percaya. Padahal dia baru saja pulang, belum mengerti, belum punya pengalaman di perusahaan. Tetapi ayahnya memberinya satu kepercayaan besar. Merasa terbebani? Ternyata tidak, karena sejak awal mau berkuliah, dirinya sudah diwanti- wanti akan tanggung jawabnya.
Suatu hari pasti akan memimpin perusahaan selanjutnya. Dari segi mental sudahlah sangat siap bahkan jauh sebelum memilih jurusan kuliah. Soal marketing menurut Wiliam, produk Terry Palmer terlalu bermain safe cuma berkutat di itu- itu saja. Marketinga menurutnya adalah out side the box, dimana menurutnya diluar sana banyak sekali contohnya. Bahkan tidak terpikirkan sebelumnya pernah ada oleh masyarakat awam. Ia menyebut marketing tidak monoton.
"Saya baru tahun ini menjalani krativitas di Terry Palmer, di mana saya bisa melakukan out side the box," ujar Wilson
Melalui event Miss World 2013, nama Terry Palmer mencuat bahkan penulis sempat mengira ini produk apa ya. Penulisa sempat berpikir apakah Terry Palmer adalah produk impor. Melalui acara tersebut perusahaan ditangannya melalukan aneka branding. Tidak sama dengan ketika perusahaan dikontrol 100% oleh ayahnya. Terry Palmer begitu berani melakukan strategi marketing besar- besaran di televisi. "Padahal kami merasa bukan seperti produk elektronik atau makanan," jelasnya.
"Mana ada handuk di dunia yang mau muncul di TVC. Tapi, saya berani mengambil langkah itu," jelasnya penuh kebanggaan.
Bukan cuma mensponsori karena kalau sponsor sudah banyak. Lebih jauh lagi bahkan menjadi bagian dari tiap kegiatannya. Melakukan aktifitas promosi paralel jalannya acara tersebut. Tidak cuma berhenti di acara Miss World. Wilson meyakinkan kita bahwa Terry Palmer merupakan produk bernyali. Mereka sudah siap cara marketing lain di internalnya. Pokoknya akan menjadi surpraise jelasnya kembali. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk brand awareness.
Menarik perhatian masyarakat sekarang tak cuma kelas menengah- atas. Bahkan seluruh Indonesia sudahlah bertanya- tanya apa sih Terry Palmer. Fakta bahwa sosoknya masihlah sangat muda tak diambil pusing. Ia meyakinkan jangan menganggap remeh dirinya. Semuanya berjalan seperti biasanya. Wilson merasa dirinya telah mendapatkan respect dari orang sekitarnya.
Target bisnis
Ada target yang harus dipenuhinya yakni memperkenalkan Terry Palmer. Tidak cuma bermain dipasar lokal tapi harus berani mencapai pasar global. Ia melihat bahwa kualitas produknya tak kalah dari pemain bisnis handuk asal Eropa. Bahkan menurutnya sebagian lini- produknya lebih baik. Wilson masih sangat melihat ada peluang buat pasar global.Tahun- tahun ini sudah masuk ke pasar Singapura, Malaysia, Australia, bahkan siap masuk pasar China. Jika ibaratnya handuk China masuk Indonesia, kini, giliran Terry Palmer asal Indonesia memasuki pasaran China. Ia terlihat percaya dirinya menjelaskan targetnya. Hasilnya cukup baik memang karena standar produknya itu sudah world class. Meski bicara soal teknik, Wilson meyakinkan kamu, bahwa teknik, mesin, dan bahan baku miliknya sudah terbaik.
Ambil contohnya bahan utamanya menggunakan egyptian cotton atau kapas mesir terbaik. Dari halnya segi teknologi pun sudah bisa bersaing dengan produk dunia. Komposisi lokal- ekspor memang baru mencapai angka 70:30 sebelumnya 50:50. Eith... Jangan salah sangka menurut penjelasannya kenapa buat lokal jadi naik, ternyata ada startegi marketing khusus. Memang buat lokal naik karena memang ini khusus pasaran dari Terry Palmer sendiri.
Untuk pasaran luar negeri sudah ada produknya sendiri bukan Terry Palmer. Wilson meyakinkan kita bahwa nanti akan sampai 80%:20%. Dimana dua puluh persen sisanya akan diperuntukan produk lain. Dimana dari 80% akan dibagi lagi dimana fokusnya ada di IKEA. Ia menyasar 40% pasar lokal IKEA dan 40% nya ada pasar internasional bersama merek Terry Palmer sendiri. Jadilah totalnya ada dua brand dibawanya hingga ke manca negara.
Pasar ekspornya masih difokuskan di pasaran Asia. Berapa banyak perusahaannya menjual makan jawaban darinya 1.000 ton per- bulan. "Kami memproduksi sesuai apa yang kami jual. Produksi kami masih kami maksimalkan hingga 1.300 ton per bulan," terangnya kembali. Tentang inovasi, Wilson masih terus mau untuk mengeksplor, tentu bermodal jiwa mudanya. Menurutnya orang masih menganggap handuk cuma bagian dari kebutuhan sehari- hari.
Belumlah berbicara tentang mode (fashion) atau lifestyle. Nah, inilah tengah dicoba olehnya, bahwa handuk itu juga mempercantik kamar mandi. Jadi bahkan tanpa mengganti warna tembok kamar mandi terlalu sering sudah teratasi. Handuk berwarna akan membuat suasana kamar mandi berasa berbeda. Salah satu inovasi yang tengah dipikirkannya adalah handuk berkristal swarovski. Ini akan membuat handuk jadi berkesan lebih luxury.
"Inovasi penting agar makin sulit ditiru pesaing," jelasnya, dimana Terry Palmer sendiri sudah bisa menguasai 30% pasaran Indonesia. Di Indonesia sendiri masih sedikit pamain diproduksi kain handuk. Cuma 1 sampai 2 perusahaan besar mendominasi dan ini bisa jadi kesempatan bagi kita.
Arti karyawan baginya adalah memberikan kesempatan belajar dan membimbing mereka. Seperti halnya dulu ayahnya yang mensekolahkan dirinya sampai Jerman. Kesempatan itupula lah yang diberikan olehnya kepada karyawannya. Dia menciptakan suasana bersaing tapi menyenangkan. Tidak ada namanya generation gap antara dia dan karyawannya.
"Sebenarnya secara profesional hanya ada mutual respect. Tentu saya juga melihat ada beberapa karyawan yang ketika kakek saya memimpin, mereka sudah bekerja di sini," jelasnya kembali.
Memang ketika Wilson masih kecil sudah dibiasakan, umur 4 tahun, dia sudah diajak berkeliling- keliling ke kantor milik ayahnya. Dia melihat sendiri ada karyawan ayahnya yang masih bertahan. Justru dari merekalah dirinya belajar banyak. Disisi lain, ia mencoba menempatkan dirinya sebagai anak, meyakinkan mereka para karyawan tuanya agar mau mengikuti langkahnya. Dia meyakinkan mereka melalui cara hormat, penuh rasa menolong.